top of page

Sayur, Limbah Makanan Domestik yang Paling Banyak Dihasilkan selama Pandemi

Semenjak pemerintah resmi memberlakukan kebijakan kerja dari rumah atau work from home (WFH) dan gerakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada bulan Maret 2020 lalu, sebagian besar masyarakat Indonesia terpaksa bekerja dan bersekolah dari rumah, tak terkecuali masyarakat Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dan Bandung. Kebijakan WFH tersebut membuat rata-rata tonase sampah di DKI Jakarta berkurang sebanyak 620 ton per hari dari yang sebelumnya 9.346,16 ton per hari menjadi 8.726,44 ton per hari setelah WFH.

Di Kota Bandung, rata-rata tonase sampah harian juga menurun semenjak dari yang sebelumnya 1.347 ton per hari menjadi 1.277 ton per hari semenjak diterakannya PSBB di Jawa Barat. Meskipun secara keseluruhan tonase sampah di DKI Jakarta berkurang, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta mengatakan ada kemungkinan justru limbah rumah tangga (domestic wastage) yang mengalami peningkatan akibat diterapkannya WFH.


Banyaknya aktivitas yang dilakukan hanya dari rumah membuat masyarakat menjadi lebih konsumtif. Selain itu, terjadi perubahan kebiasaan belanja masyarakat selama masa WFH. Dilansir dari Facebook for Business (2020), permintaan konsumen di Asia Tenggara terhadap produk segar maupun kemasan secara online meningkat sebesar 44-48% dan sebanyak 80-83%-nya mengatakan akan terus melakukan pembelian secara online di masa mendatang. Maka tak heran jika limbah domestik meningkat selama masa WFH.


Pada bulan Juli 2020 lalu, kami melakukan penelitian untuk mencari tahu jenis dan persentase limbah makanan domestik yang dihasilkan per individu berdasarkan demand konsumsi masyarakat DKI Jakarta dan Bandung dengan melihat kebiasaan memasak dan membeli makanan secara online selama masa WFH serta tindakan yang mereka lakukan terhadap sampah makanan yang dihasilkan dari kegiatan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner online pada rentang tanggal 16 s.d. 22 Juli 2020.


Responden merupakan seseorang yang berdomisili di wilayah DKI Jakarta dan Bandung dengan kriteria rentang usia antara 18-25 tahun serta menerapkan work from home selama 3-4 bulan terakhir terhitung sejak bulan Maret hingga Juli 2020. Sebanyak 70.9% dari total 110 responden berusia 20-21 tahun dengan 90%-nya berstatus sebagai pelajar. Perbandingan jumlah responden yang berdomisili di wilayah DKI Jakarta dan Bandung adalah sebesar 51:59 orang dengan 80.9% dari total responden tinggal di rumah selama masa WFH.


Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa dalam seminggu, responden yang berdomisili di Bandung lebih sering memasak dengan frekuensi 3-5 kali daripada responden yang berdomisili di DKI Jakarta yang hanya 1-2 kali seminggu. Responden yang berdomisili di DKI Jakarta cenderung membeli makanan secara online, yakni dengan frekuensi lebih dari 5 kali seminggu dibandingkan dengan responden yang berdomisili di Bandung.


Secara umum, 85% dari total responden menjawab pernah membeli makanan secara online selama WFH. Rasa penasaran terhadap rasa dan tren makanan menjadi salah satu alasan responden memilih untuk memasak dan/atau membeli makanan secara online, namun rasa suka terhadap makanan menjadi alasan utama responden memasak dan/atau membeli makanan tertentu secara online.


Diskon menjadi opsi alasan yang paling sedikit dipilih mengindikasikan bahwa responden tetap bersedia membeli makanan secara online meskipun sedang tidak ada diskon atau promo asalkan mereka memang menyukai makanan tersebut atau benar-benar sedang ingin memakannya pada saat itu.


Sebanyak 79% responden menjawab terdapat sampah makanan dari hasil kegiatan memasak dan/atau membeli makanan secara online selama WFH. Sampah makanan yang paling banyak dihasilkan dari kegiatan tersebut adalah sayuran dengan persentase sebesar 31%.



Jika melihat responden yang mayoritas berusia 20-21 tahun, maka wajar jika mereka tidak menyukai sayuran sehingga sayuran menjadi jenis sampah makanan yang paling banyak dihasilkan di rumah selama masa WFH. Sebab, hampir sebagian besar jenis sayuran memiliki mengandung senyawa fitokimia yang ketika dimasak, dikunyah, atau rusak, pecahan molekul penyusunnya akan menimbulkan rasa pahit dan bau menyengat pada sayur.


Tanaman sayur juga memproduksi senyawa alkaloid sebagai mekanisme pertahanan diri, yang apabila dimakan akan memicu respon perlindungan alamiah yang memang sudah ada di dalam DNA manusia. Sistem dalam DNA manusia mengenalinya sebagai zat yang mungkin berbahaya walaupun pada kenyataannya senyawa-senyawa tersebut hanya berbahaya bagi organisme tertentu seperti hama dan serangga. Sensitivitas terhadap senyawa yang menimbulkan rasa pahit tersebut sedikit lebih tinggi ditemukan pada tubuh seseorang yang masih berusia muda (usia 6 bulan - 24 tahun) cenderung tidak terlalu menyukai sayuran.


Sebanyak 73% respon yang masuk menyatakan responden langsung membuang sampah makanan dari hasil kegiatan memasak dan/atau membeli makanan secara online ke tempat sampah. Hanya 0.13 dan 0.08% dari total respon yang secara berturut-turut menyatakan responden telah mencoba menanam kembali dan mengumpulkan sampah makanan tertentu untuk dijadikan kompos. Hal ini dapat menjelaskan alasan meningkatnya limbah domestik di rumah-rumah selama masa WFH akibat pandemi COVID-19.


Masalahnya, limbah domestik ini biasanya berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) terdekat dan hanya akan semakin menambah akumulasi gas rumah kaca di atmosfer Hal ini dikarenakan sampah organik atau sampah makanan yang terbuang di tanah menyumbang 50-55% gas metana dan 40-45% gas CO2. Lebih buruknya lagi, jika bercampur dengan sampah anorganik lainnya di TPA dan terkena air hujan akan menghasilkan air lindi yang beracun dan dapat mencemari tanah serta badan perairan.


Sumber: ecoeducationservice.org.au


Jejak karbon yang dihasilkan oleh sayuran sebenarnya sangat kecil, hanya sebesar 2.0 kilogram CO2 ekivalen. Meskipun produk sayuran memiliki jejak karbon per kalori yang lebih rendah daripada produk daging, tetapi jika diakumulasikan jumlahnya akan tetap menjadi besar. Bahkan, menurut data FAO (2015), sayuran menjadi komoditas penyumbang jejak karbon global terbanyak kedua setelah sereal.


Pembuangan sampah makanan berupa sayuran dapat diminimalisasi dengan cara memasak/membeli produk sayuran sesuai dengan porsi makan per individu atau keluarga agar tidak ada sisa sayuran yang terbuang sia-sia. Memasak sayuran dengan cara yang benar dan segera mengolah/mengonsumsinya selagi masih dalam keadaan segar juga dapat mengurangi kemungkinan dihasilkannya sampah sayuran.


Penulis : Kenia Zora Aprilia


Referensi:

Burow, M., Bergner, A., Gershenzon, J., & Wittstock, U. (2007). Glucosinolate hydrolysis in Lepidium sativum––identification of the thiocyanate-forming protein. Plant Molecular Biology, 63: 49–61.

Eco Education Service. (2015). Food Waste. Retrieved from Eco Education Service: https://ecoeducationservice.org.au/resources/waterway-health/food-waste/

Facebook for Business. (2020, June). Southeast Asia digital consumer trends that shape the next normal. Retrieved from Facebook Business: https://www.facebook.com/business/news/digital-consumer-trends-next-normal-southeast-asia?content_id=yimMbilPWnDyVti&li_fat_id=7ef40483-6ff0-4eaf-ae4e-225d87c375ab

FAO. (2015). Food Wastage Footprint and Climate Change. Food and Agriculture Organization of The United Nations.

Jakarta Post. (2020, May). Jakarta’s trash output down during COVID-19 but environmentalists warn of possible increase. Jakarta: Jakarta Post.

Steen, J. (2016). Hated Veggies As A Kid? These Are The Scientific Reasons Why. Retrieved from HuffPost: https://www.huffingtonpost.com.au/2016/12/08/hated-veggies-as-a-kid-these-are-the-scientific-reasons-why_a_21622833/

TribunJabar.id. (2020, May 16). Sampah di Bandung Turun 5 Persen Selama Pandemi Corona. Retrieved from Tribun Jabar: https://jabar.tribunnews.com/2020/05/16/sampah-di-bandung-turun-5-persen-selama-pandemi-corona

WebMD. (2020, October 27). Phytonutrients. Retrieved from WebMD: https://www.webmd.com/diet/guide/phytonutrients-faq#1

WHO. (2020). Adolescent health. Retrieved from World Health Organization: https://www.who.int/southeastasia/health-topics/adolescent-health

1.164 tampilan0 komentar
bottom of page