Permasalahan Food Waste pada Bisnis/Industri Makanan & Minuman
Menurut data Food Sustainability Index 2017 yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU) menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara kedua terbesar sebagai negara penghasil limbah makanan di dunia. Sementara posisi pertama diduduki Arab Saudi. Di Indonesia perkiraan food waste yang dihasilkan sebesar 300 kg per orang per tahun, sedangkan di Saudi Arabia sebesar 427 kg per orang per tahun (Index, 2017). Kontribusi nya sendiri berasal dari hotel, restoran, catering, dan limbang rumah tangga.

Sumber: unsplash.com
Sebuah penelitian oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, di sebuah restoran di Surakarta mengungkapkan tindakan-tindakan yang dilakukan restoran terhadap pengelolaan makanan berlebih. Pada restoran pertama, ditemukan bahwa beberapa makanan seperti bubur yang disajikan 2 liter per hari, sebanyak 0,25 - 0,5 bubur yang berlebih akan dibuang. Pada jenis makanan kategori sayuran, makanan berlebih dengan kategori berkuah akan dibuang. Dari 100% porsi yang disajikan 10 - 30% makanan berkuah yang berlebih akan dibuang. Selain itu, restoran ini juga menerapkan kebijakan seperti memberi makan berlebih kepada karyawan nya dan menghangatkan kembali makanan yang masih layak.
Pada restoran kedua ini pengolahan makanan lebih teratur dan menerapkan antisipasi terhadap makanan berlebih. Restoran ini mengolah makanan sesuai dengan pesanan dari pelanggan. Semua makanan disajikan fresh sesuai dengan yang dipesan oleh konsumen, kecuali nasi. Menurut keterangan owner, nasi yang diolah sebanyak 200 porsi dengan jumlah 190-195 porsi yang terjual, kemudian sisa sebanyak 5-10 porsi nasi akan disimpan untuk shift selanjutnya, berhubung restoran ini ada dua shift pagi dan sore. Penyediaan bahan makanan mentah juga sangat disesuaikan dengan kebutuhan restoran, tidak menyetok bahan mentah terlalu banyak. Owner dari restoran tersebut lebih memilih untuk memesan bahan mentah kepada supplier secara mendadak jika terjadi kekurangan bahan mentah. Jika terdapat pesanan untuk acara besar seperti arisan, rapat, ulang tahun, reuni dan sebagainya pihak resto menyediakan konsultasi kepada konsumen tentang jumlah makanan yang disesuaikan dengan jumlah tamu undangan.
Pada restoran ketiga di Surakarta, pengelolaan hampir sama dengan restoran kedua. Mereka menyediakan makanan yang fresh, dibuat jika ada pesanan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi makanan berlebih. Nasi yang diolah di restoran ini sebanyak 20 porsi dengan estimasi nasi berlebih sebanyak 6 porsi atau sekitar 30% akan diberikan kepada catering untuk diolah kembali. Untuk makanan jenis sayuran, restoran benar-benar menjaga kesegaran produknya dengan cara tidak mengolah 100% makanan tersebut. Misal masakan tumis, dari 50 porsi pihak restoran hanya mengolah sebanyak 10 porsi, sisa 40 porsi akan diolah keesokan harinya. Begitu juga dengan jenis makanan lauk-pauk seperti olahan daging, ikan, telur, dan sebagainya.
Berdasarkan contoh kasus di atas dapat disimpulkan bahwa estimasi makanan berlebih di beberapa restoran di Surakarta sebesar 9%. Dari pengelolaan yang dilakukan oleh restoran tersebut, pengelolaan makanan berlebih dengan cara dibuang ke tempat sampah masih tergolong tinggi. Persentase paling sedikit yaitu pengelolaan makanan berlebih dengan cara diberikan kepada karyawan.
Berdasarkan kasus-kasus tersebut beberapa cara yang bisa dilakukan oleh bisnis/industri makanan dan minuman untuk mencegah permasalahan food loss & food waste adalah sebagai berikut:
Made By Order
Selain meminimalisir makanan berlebih, restoran yang menerapkan sistem made by order akan terkesan menyajikan makanan yang selalu fresh. Seperti contoh dari restoran 2 dan 3, mereka membuat makanan sesuai dengan pesanan konsumen, jadi kecil kemungkinan makanan akan tersisa dan menjadi limbah. Untuk jenis makanan nasi, memang sulit jika menerapkan sistem made by order namun jika nasi berlebih diolah kembali oleh pihak kedua, nasi tersebut tidak akan mubazir dan tetap terselamatkan.
Diberikan Kepada Pihak Lain
Jika mengambil contoh nasi, nasi merupakan makanan yang rentan basi apalagi jika penyimpanannya salah. Misal selama berjam-jam dibiarkan di suhu ruang, maka nasi akan mudah basi. Namun dalam beberapa kasus di restoran yang menyediakan nasi, selain mereka menggunakan wadah yang menjaga nasi agar tetap hangat, nasi yang berlebih lebih baik disalurkan kepada pihak kedua agar bisa diolah kembali atau dijual kembali oleh pihak kedua. Misal restoran A memiliki jumlah nasi berlebih sebanyak 5-10 porsi, kemudian nasi tersebut diberikan kepada catering B atau restoran C yang masih satu perusahaan dengan restoran A. Nasi tersebut bisa dijual kembali oleh catering B dan restoran C atau diolah kembali menjadi produk baru.
Beri Info Detail Kepada Pelanggan
Sering kali sampah makanan berasal dari konsumen yang tidak menghabiskan makanan dengan alasan porsi yang disajikan tidak sesuai dengan ekspektasi pelanggan, misal terlalu banyak. Untuk mencegah hal itu terjadi, pihak restoran bisa memberikan info detail pada buku menu mengenai ukuran dalam satu porsi makanan. Bisa juga dengan memberikan tiga pilihan ukuran porsi makanan (Small, Medium, Large) agar para pelanggan bisa menyesuaikan dengan kebutuhannya. Pada poin ini memang banyak restoran yang sudah menerapkannya.
Mengizinkan Makanan Sisa untuk Dibawa Pulang
Beberapa restoran kerap menerapkan kebijakan tidak memperbolehkan makanan sisa untuk dibawa pulang. Biasanya kasus ini terjadi pada restoran yang menerapkan sistem AYCE. Walaupun pihak restoran menerapkan denda yang dibebankan kepada konsumen, namun makanan yang tersisa tetap tidak terselamatkan dan tetap menjadi limbah. Edukasi pun memang penting dilakukan, makan dengan sistem all you can eat berarti menerima resiko dan tanggung jawab untuk menghabiskan makanan yang kita ambil, jadi masyarakat pun tetap harus sadar akan hal tersebut.
Menjadi Rekan Surplus
Banyak hal positif yang bisa diperoleh pihak restoran untuk menanggulangi permasalahan overstock produk. Pihak restoran tidak perlu pusing untuk mengalokasikan makanan berlebih tersebut, hanya perlu memasarkannya melalui Surplus. Sekaligus, pihak resto tetap akan mendapatkan untung, jadi makanan tersebut dijual dengan setengah harga otomatis modal akan tetap kembali.
Kesimpulan dari uraian di atas yaitu pengelolaan makanan berlebih pada industri makanan dengan cara membuang makanan tersebut masih tergolong tinggi. Tidak hanya di kota Surakarta, tetapi di kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, Bandung, dan lain-lain. Hal ini menjadi isu yang harus diperhatikan oleh semua kalangan, tidak hanya pemilik restoran tetapi seluruh kalangan masyarakat perlu meningkatkan kesadaran terhadap permasalahan sampah makanan yang terjadi saat ini khususnya sampah makanan yang berasal dari industri makanan atau minuman.