Perlunya CSR dalam Sektor Usaha Makanan dalam Mengurangi Food Waste di Indonesia
Seperti yang kita kertahui, jumlah penduduknya Indonesia berada diurutan terbesar ke-4 setelah Amerika Serikat. Berdasarkan Data Kependudukan Semester I 2020, jumlah total penduduk Indonesia per 30 Juni sebanyak 268.583.016 jiwa. Jumlah ini mengalami kenaikan 0,82 persen dibandingkan 2019, yaitu 131.676.425 jiwa. Sehubungan atas hal itu, Indonesia berpotensi akan mengalami berbagai macam permasalahan, salah satunya yaitu permasalahan sampah. Permasalahan sampah yang tidak kunjung usai di negara berkembang ini bahkan sudah terbilang cukup serius apabila tidak ditanggulangi dengan baik. Salah satu kota besar di Indonesia pernah memiliki permasalahan sampah yang cukup serius dimana Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tidak dapat lagi menampung jumlah volume sampah yang ada.
Pada tanggal 21 Februari 2005 silam, terjadi longsor sampah di TPA Leuwi Gajah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat hingga menimbun dua pemukiman serta menewaskan 143 penduduk sipil. Inilah yang saat ini kita ingat sebagai Hari Peringatan Sampah Nasional dan bagaimana sampah terutama jenis organik dapat menjadi sesuatu yang sangat berbahaya. Longsor tersebut disebabkan oleh ledakan yang terjadi karena gas metana (CH4) yang terbentuk ketika "gunungan" sampah organik tidak mendapat paparan oksigen. Gas metana sendiri memiliki sifat mudah terbakar, sehingga ketika bereaksi dengan udara mampu meledak seperti bom. Gas metana juga menimbulkan bau yang tidak sedap dan menyengat.
Menurut The Economist Inteligence Unit, Indonesia menjadi penyumbang sampah makanan terbesar kedua di dunia. Memang tidak dipungkiri lagi, akibat dari besarnya jumlahnya penduduk dengan produktivitas yang tinggi maka banyak makanan berlebih yang nantinya akan menjadi sampah. Ironisnya, menurut Global Hunger Index, tingkat kelaparan di Indonesia berada di tingkat serius yang menandakan banyak orang yang sedang kelaparan diluar sana. Penyumbang sampah makanan paling besar disinyalir berasal dari sektor rumah tangga dan para pelaku disektor usaha F&B, restoran, dan hotel.

Photo by Annie Spratt on Unsplash
Para pelaku usaha F&B, restoran, dan hotel memiliki kecenderungan untuk memproduksi makanan setiap hari dengan menjaga kesegaran untuk para pelanggannya. Pasti akan ada saja makanan yang berlebih dari produksi tersebut setiap harinya. Para pelaku tesebut berperan besar dalam menyumbang jumlah makanan yang tersia-siakan dan berakhir menjadi sampah makanan. Pelaku bisnis makanan sepatutnya memiliki Corporate Social Responsibility (CSR) dalam merespon isu lingkungan ini untuk mewujudkan Good Corporate Citizenship. Pentingnya label ramah lingkungan terhadap pengelolaan sampah makanan sama pentingnya dengan label eco-friendly pada food packaging. Dalam hal ini, pelaku bisnis makanan harus memiliki SOP (Standar Operasional Prosedur) yang mengatur efektivitas pengelolaan bahan baku agar dapat dimanfaatkan secara optimal tanpa ada yang terbuang. Sekurang-kurangnya, SOP ini membatasi pembelian persediaan bahan baku yang mudah busuk se-minimal mungkin dan mengatur takaran bahan baku agar dapat diolah secara presisi menjadi makanan yang dapat dikonsumsi pelanggan. Hal ini penting menjadi perhatian karena usaha sektor makanan mulai dari pengolahan hingga ke barang jadi, dibutuhkan proses yang cukup panjang dan berpotensi besar menimbulkan makanan yang terbuang sia-sia.
Kebijakan yang baik dari pemerintah untuk para pelaku usaha akan dapat mencegah makanan yang berlebih terbuang sia-sia. Makanan yang berlebih masih bisa dimanfaatkan kembali seperti diolah menjadi makanan lain, ataupun dijual kembali dengan harga yang relatif murah. Salah satu contohnya yaitu penggunaan dari aplikasi Surplus yang berperan dalam memerangi tingkat food loss dan food waste di Indonesia. Sedangkan, sisa makanan yang sudah tidak bisa dikonsumsi lagi juga dapat dijadikan sebagai pakan hewan, pupuk atau kompos, dan lain-lain.
Diperlukan cara untuk meminimalisir permasalahan sampah makanan sebagai akibat dari besarnya jumlah penduduk di Indonesia yang berdampak pula pada tingkat kelaparan yang tinggi. Pengalokasian jumlah makanan yang berlebih kepada orang-orang yang membutuhkan dapat menjadi salah satu solusi. Dengan demikian, dibutuhkan peran atau sinergi dari berbagai pihak meliputi pelaku rumah tangga, bisnis atau usaha, masyarakat dan pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini bersama-sama. Diharapkan, jumlah penduduk yang besar di Indonesia tidak jadi menimbulkan masalah bahkan dapat menunjukkan kualitas penduduknya.
Penulis : Made Kusuma
Referensi :