Bersemangat di Bulan Ramadan, Kok Malah Banyak Sampah Makanan?
Saat ini, seluruh Umat Muslim di dunia sedang berbahagia karena sedang memasuki bulan penuh mulia yang identik dengan perlombaan dalam melakukan kebaikan, yakni bulan suci Ramadan. Salah satu ciri khas dari bulan ini adalah ngabuburit, yakni menghabiskan waktu menjelang berbuka dengan berjalan-jalan sore, sembari mendatangi—atau sekadar mengamati—deretan makanan yang dijajakan oleh penjual. Tak jarang, para pembeli akan terpengaruh oleh fenomena ‘lapar mata’ yang akhirnya kalap dalam membeli makanan untuk berbuka. Akhirnya, terjadi peningkatan sampah makanan akibat tidak seimbangnya antara jumlah makanan yang dibeli dengan kapasitas lambung untuk menerima makanan. Selain itu, praktik kebudayaan berupa menghidangkan berbagai macam makanan untuk berbuka, termasuk mengundang tamu dan menyediakan makanan dalam jumlah banyak, turut berkontribusi kepada peningkatan produksi sampah makanan.

Setidaknya, terdapat tiga tren yang terjadi selama bulan Ramadan yang berkaitan erat dengan peningkatan sampah makanan. Tren tersebut meliputi:
Selama Bulan Ramadan, terjadi peningkatan permintaan daging sapi, kambing, dan ayam hampir 50% dari permintaan normal. Hal ini sedikit banyak berpengaruh kepada kecenderungan menimbun makanan untuk sebulan kedepan oleh penjual makanan akibat terjadinya peningkatan permintaan. Tidak hanya itu, permintaan jenis makanan lainnya seperti sayuran, buah-buahan, dan produk susu turut meningkat. Peningkatan pembelian ini tidak diikuti dengan konsumsi yang seimbang, sehingga potensi peningkatan sampah makanan dapat terjadi dengan mudah sekali. Hal ini tentu mencerminkan perilaku tidak bertanggung jawab terhadap bahan-bahan pangan yang menjadi penopang energi kehidupan seluruh makhluk hidup. Dapat dikatakan, meskipun intensitas kita terhadap makanan berkurang, namun banyaknya porsi makanan pada saat berbuka maupun saat sahur melebihi pola konsumsi normal.
Adanya kecenderungan untuk membeli bahan makanan dalam jumlah lebih dari kebutuhan normal biasanya, baik untuk konsumsi diri sendiri dan juga berjaga-jaga apabila terdapat tamu yang datang. Makanan yang sudah disiapkan sedemikian rupa dengan jumlah yang banyak, nyatanya tidak selalu habis. Sebab, makanan yang dikonsumsi pada saat buka puasa biasanya tidak dikonsumsi sebagai ‘camilan’ pada malam hari, atau dikonsumsi kembali untuk sahur di hari berikutnya.
Banyaknya orang-orang yang menyumbangkan makanan berlebih untuk amal. Namun sayangnya, makanan tersebut terkadang tidak dikonsumsi oleh penerima donasi, karena adanya keterlambatan pengiriman yang bertabrakan dengan jadwal shalat maghrib, isya, dan tarawih. Akhirnya, makanan maupun bahan makanan yang sudah dibeli maupun didonasikan, tidak termanfaatkan secara efisien dan berakhir secara sia-sia di tempat sampah tanpa sempat dikonsumsi terlebih dahulu.
Fakta menarik namun ironis memperlihatkan bahwa negara-negara yang berpenduduk mayoritas Islam, khususnya di Timur Tengah, menghasilkan sampah makanan dalam jumlah besar yang meningkat secara substansial selama Bulan Ramadan berlangsung. Sebab pada periode ini, konsumsi dan pemborosan makanan meningkat secara tajam. Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 15-25% dari semua makanan yang dibeli atau disiapkan selama Ramadan belum sempat dikonsumsi dan langsung terbuang ke tempat sampah. Bahkan, setiap tahunnya, terjadi peningkatan sampah makanan secara dramatis di negara-negara Muslim selama bulan Ramadan karena adanya tindakan belanja bahan makanan yang tidak terkendali, serta pemupukan barang-barang yang tidak perlu dan tidak dibutuhkan setelah bulan Ramadhan. Hal tersebut merupakan ironi mengingat esensi dari Bulan Ramadhan adalah menahan diri dari segala keinginan, termasuk mengonsumsi makanan dalam jumlah yang terlalu banyak, namun nyatanya sampah makanan justru meningkat di bulan yang suci ini. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2014, menunjukkan sekitar 5.000 ton sampah makanan diproduksi selama tiga hari pertama Ramadan di Kota Suci Mekah. Sedangkan di Bahrain, sampah makanan melebihi 400 ton per hari selama bulan Ramadhan. Sama halnya yang terjadi di Qatar, hampir setengah dari makanan yang dipersiapkan selama Ramadhan terbuang begitu saja ke tempat sampah.
Kira-kira, mengapa justru negara-negara Timur-Tengah dan negara berpenduduk mayoritas Islam yang menghasilkan sampah makanan paling banyak selama Ramadan? Apakah ada pengaruhnya dari budaya mereka? Pada tulisan-tulisan di bawah ini, sobat dapat melihat bagaimana tiap negara menghadapi sampah makanan sekaligus penanganan apa yang dilakukan di negara tersebut.
Sampah Makanan di Libanon: Budaya Berkumpul, Penyediaan Hidangan, dan Inisiatif Bi-Clean
Simak Cara Dubai Mengurangi Sampah Makanan: Inisiatif “Heafz Al Na’amah” dan “Smart Homes”
Peningkatan Sampah Makanan selama Bulan Ramadan dari Sudut Pandang Penjual
Sobat Surplus bisa mengikuti diskusi mengenai topik ini bersama anggota Komunitas Surplus lainnya, loh! Yuk, daftar disini!